
Perusahaan asuransi umum didorong untuk meningkatkan adopsi teknologi demi pertumbuhan
Adopsi teknologi dapat membantu industri mengikuti tren pasar dan mengurangi risiko.
Perusahaan asuransi properti dan kecelakaan (property and casualty insurers) harus memanfaatkan teknologi untuk menekan biaya, meningkatkan kemampuan underwriting, dan memperbaiki pengalaman pelanggan, terutama saat mereka bersiap menghadapi peningkatan risiko dari kejahatan siber dan bencana alam, menurut para analis.
Dorongan digital diperkirakan akan tetap menjadi tren utama di sektor asuransi dalam lima tahun ke depan, seiring meningkatnya permintaan konsumen akan cara yang lebih sederhana dan cepat untuk membeli polis asuransi serta mengajukan klaim, tambah mereka.
"Dari sisi teknologi, sangat penting untuk melihat perubahan yang akan datang," kata Henrik Naujoks, Kepala Jasa Keuangan Asia-Pasifik di Bain & Co., kepada Insurance Asia. "Sebagian besar diskusi kami dengan klien berfokus pada perubahan teknologi yang harus kita adopsi untuk memanfaatkan tren pasar atau mengurangi beberapa risiko yang ada."
Para analis mengidentifikasi meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana alam sebagai risiko yang berkembang di sektor asuransi properti dan kecelakaan pada 2025. Risiko cuaca ekstrem telah memicu beberapa peristiwa bencana tahun ini dan akan tetap menjadi risiko utama yang harus dipantau, kata Naujoks.
Pada November, Charles Taylor Insurance Services Ltd. memperluas operasinya di Malaysia, dengan alasan berkembangnya industri penyesuaian kerugian (loss-adjusting) di negara tersebut, yang sebagian didorong oleh meningkatnya frekuensi bencana alam.
Kawasan Asia-Pasifik sangat rentan terhadap bencana alam, dengan urbanisasi yang cepat berkontribusi terhadap meningkatnya kerugian di wilayah berisiko tinggi, menurut broker reasuransi Gallagher Re.
Salah satu risiko tidak biasa yang disoroti oleh Naujoks untuk 2025 adalah potensi konflik bersenjata akibat meningkatnya ketegangan geopolitik global. Ia juga menyebut misinformasi, disinformasi, dan kerusuhan sipil sebagai risiko sosial yang berkembang, terutama selama pemilu yang kerap mendapati adanya campur tangan asing.
Reinsurance harus mengembangkan solusi inovatif untuk jenis risiko ini, yang mungkin tidak dapat diasuransikan secara langsung, kata Naujoks.
Generative AI atau genAI menjadi bidang lain yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan asuransi untuk meningkatkan operasional. Laporan Bain & Co. pada Oktober 2024 merinci beberapa inisiatif, termasuk penggunaan data klaim selama enam tahun oleh Zurich untuk meningkatkan underwriting serta penerapan alat berbasis AI oleh sebuah perusahaan asuransi di Amerika Selatan, seperti ringkasan klaim otomatis dan chatbot.
Inisiatif ini menunjukkan hasil yang menjanjikan, termasuk peningkatan produktivitas hingga 50% dalam tugas tertentu, potensi pengurangan kebocoran klaim hingga 40%, serta penghematan waktu 10 hingga 20 menit per klaim melalui validasi cakupan berbasis AI.
‘Real art’
GenAI dapat digunakan untuk membuat laporan risiko yang dipersonalisasi dan penawaran asuransi yang telah melalui proses pre-underwriting berdasarkan data yang tersedia, kata Bernhard Kotanko, mitra senior di McKinsey & Company, dalam sebuah wawancara video.
Namun, menurut Naujoks, hype seputar AI mulai mereda seiring dengan tantangan yang lebih nyata di industri asuransi. Banyak perusahaan kini lebih fokus pada dampak nyata terhadap profitabilitas daripada sekadar mencari kasus penggunaan baru.
"Ini adalah pola yang sering kita lihat dalam kemajuan teknologi—banyak yang terlalu fokus pada teknologinya sendiri, tetapi menjadikannya benar-benar efektif adalah seni sesungguhnya," katanya.
Ia menambahkan bahwa perusahaan asuransi sering kali melebih-lebihkan dampak jangka pendek AI sambil meremehkan potensi jangka panjangnya, yang mengarah pada ekspektasi yang tidak terpenuhi.
Risiko keamanan siber menjadi perhatian utama, terutama dengan berkembangnya teknologi deepfake. Laporan November 2024 dari platform verifikasi identitas Sumsub menunjukkan bahwa kasus penipuan deepfake di kawasan Asia-Pasifik hampir tiga kali lipat.
Laporan terbaru dari Cybersecurity Insiders juga mengungkapkan bahwa 83% organisasi di seluruh dunia mengalami setidaknya satu serangan orang dalam (insider attack) dalam setahun terakhir. Naujoks mengatakan tren ini dapat berlanjut selama beberapa tahun ke depan, seiring dengan semakin canggihnya teknologi yang digunakan oleh pelaku kejahatan siber.
Menurutnya, kerangka kerja AI dalam industri asuransi harus mencakup akuntabilitas, kepatuhan, dan pengawasan manusia. "Industri asuransi sangat diatur, sehingga ambang batas manajemen risikonya jauh lebih tinggi dibandingkan industri produk konsumen," katanya.
Bala Subramaniam, Managing Director Charles Taylor Malaysia, menambahkan bahwa meskipun banyak yang khawatir AI akan menggantikan pekerjaan manusia, hal ini kecil kemungkinannya terjadi dalam 10 hingga 15 tahun ke depan.
"Bukan soal apa yang bisa dilakukan AI, tetapi bagaimana kita bisa bekerja sama dengan AI untuk saling melengkapi," katanya.
Sementara itu, Kotanko melihat potensi besar dalam asuransi nonmotor dan komersial di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan India, di mana asuransi tanggung jawab hukum (liability insurance) masih kurang berkembang.
"Jika ditanya siapa yang memiliki liability insurance, jumlahnya sangat sedikit," katanya. "Ada seluruh sektor yang belum tergarap."
Menurutnya, perusahaan asuransi harus mengeksplorasi sektor ini dengan semangat kewirausahaan, yang didukung oleh stabilitas regulasi, tata kelola yang andal, dan perlindungan hukum.