Umur panjang berpotensi menjadi mimpi buruk bagi keuangan warga Singapura
Hal ini menjadi masalah bagi lebih dari setengah pensiunan yang tidak berasuransi.
Umur panjang dianggap sebagai berkah oleh banyak orang. Tetapi bagi para pensiunan, biaya hidup, meningkatnya risiko sakit, dan meningkatnya biaya pengobatan adalah mimpi buruk. Karena itu, membayar premi untuk asuransi sering diabaikan. Hal ini terbukti dalam survei Asosiasi Asuransi Jiwa Singapura yang menemukan lebih dari 52% warga Singapura berusia 60 tahun ke atas tidak memiliki asuransi.
Dalam sebuah wawancara bersama Insurance Asia, Raymond Ong, CEO Etiqa Singapore, mengatakan harapan hidup yang panjang menciptakan kesenjangan perlindungan yang besar di antara warga Singapura.
“Kami melihat Singapura menjadi salah satu negara yang memiliki harapan hidup tertinggi di dunia. Saat ini, satu dari tujuh warga Singapura berusia 65 tahun ke atas, jumlah ini akan menjadi satu dari lima pada 2030,” kata Raymond menjelaskan.
Bukan hanya warga lansia Singapura yang terpengaruh oleh angka harapan hidup yang lebih panjang. Menurut Raymond, dengan penurunan angka kelahiran penduduk sebesar 8,6%, generasi millennial Singapura menjadi generasi sandwich atau generasi yang terjebak antara merawat orang tua mereka yang sudah lanjut usia dan membesarkan keluarga sembari mempersiapkan masa pensiun mereka.
“Lebih dari dua pertiga milenial yang tidak memiliki asuransi yang memadai [karena mereka] merasa tidak mampu membeli asuransi jiwa,” kata Raymond, mengutip survei Etiqa baru-baru ini.
ALSO READ: Women in insurance: What’s blocking the way to diversity?
Raymond memperingatkan tanpa cakupan keuangan yang memadai, konsekuensi keuangan dapat menghancurkan keluarga muda jika terjadi kematian atau penyakit kritis dari satu-satunya pencari nafkah.
“Masalah sebenarnya bagi saya adalah tidak peduli seberapa besar anggaran keluarga, pentingnya asuransi sering diabaikan, dan konsekuensinya baru terlihat ketika sudah terlambat,” kata dia menambahkan.
Fokus pada layanan nasabah
Kebutuhan dasar asuransi nasabah tidak banyak berubah. Apa yang perlu dikembangkan dan disesuaikan lebih lanjut adalah cara perusahaan asuransi menjangkau nasabah mereka, kata Raymond.
Raymond menekankan bahwa sebagian besar kebutuhan nasabah berpusat pada dua hal: perlindungan dan penyediaan pensiun. Dia mengatakan ini paling baik dilayani melalui konsep asuransi tradisional yang melibatkan penyatuan risiko di antara sekelompok besar nasabah serta rata-rata biaya dolar, yang mengarah pada pengembalian jangka panjang yang lebih berkelanjutan dan stabil.
ALSO READ: No man left behind: How insurtech is solving the underinsurance mess
Untuk masa depan industri asuransi, Raymond mengatakan karya-karya inovatif akan muncul di bidang analitik data. Dengan analitik data, perusahaan asuransi dapat secara efisien mengidentifikasi dan mengelola risiko, menjangkau nasabah dengan penawaran yang sesuai, dan membuat aspek tertentu dari pertanggungan asuransi disesuaikan untuk nasabah tertentu.
Perusahaan asuransi juga akan fokus pada otomatisasi untuk melayani lebih banyak nasabah yang paham teknologi melalui layanan mandiri atau self-service dan meningkatkan pengalaman nasabah dengan mengaktifkan platform bantuan 24 jam.
“Industri asuransi memiliki peran penting dalam menyoroti pentingnya perlindungan asuransi dan penyediaan pensiun. Sebagai sebuah industri, kami memenuhi kebutuhan sosial yang sangat penting untuk memastikan keamanan finansial keluarga terjamin pada saat dibutuhkan. Kita harus mempromosikan pentingnya memiliki asuransi secara memadai,” kata Raymond.